Rabu, 17 Agustus 2011

Kasus TKI Asal Indonesia (Ruyati Binti Satubi) Dilihat Dari Perspektif Komunikasi Antar Pribadi

Pemicu masalah yang terjadi pada TKW asal Indonesia memang beragam salah satu nya adalah  kultur(budaya) yang berbeda. Kasus yang terjadi pada TKW (Ruyati binti satubi), jika kita lihat dari sisi pendekatan komunikasi antar pribadi, maka penyebabnya adalah:

- Perbedaan Kultur(Budaya)
Perbedaan kultur(budaya) turut menjadi pemicu terjadinya kasus-kasus yang menimpa para TKW asal Indonesia (khususnya Ruyati). Hal ini berhubungan dengan terjadinya mis-komunikasi antar budaya. Seharusnya para TKW sebelum keberangkatan ke negara lain, pemerintah perlu melakukan training (pelatihan) tentang budaya, bahasa, tradisi, atau kebiasaan-kebiasaan masyarakat dari negara yang akan menjadi tempat bekerja TKW tersebut. Jadi, saat TKW tersebut menjalankan tugasnya sebagai pembantu, mereka sudah paham hal-hal mengenai pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan budaya/kebiasaan dari majikannya atau tidak. Misalnya:
a. Kebiasaan/kultur majikan membersihkan rumah dua kali sehari, tetapi pembantu hanya membersihkan sehari sekali.
b. Kebiasaan/kultur majikan biasanya membuat Roti Gandum sebagai makanan pokok pengganti nasi. Tetapi, pembantu malah memasak nasi untuk makanan pokok majikannya.

Dari contoh-contoh diatas, dapat disimpulkan bahwa apa yang diharapkan antara pembantu dan majikan tidak sinkron. Hal-hal seperti ini yang dapat memicu konflik antara pembantu dan majikan. Oleh karena itu, pemahaman budaya(tradisi,kebiasaan, dan bahasa) dari negara setempat dalam konteks komunikasi antar budaya adalah penting dilakukan bagi setiap TKW yang menjalankan tugasnya. 

- Kurangnya Komunikasi Diadik (komunikasi dua orang)
Komunikasi yang terjadi antara majikan dengan pembantu bersifat diadik (komunikasi dua orang). Masing-masing individu berperilaku sesuai perannya, yaitu majikan sebagai atasan dan pembantu sebagai bawahan. Seharusnya dalam interaksi antara kedua orang tersebut dapat memahami karakter masing-masing, adanya kepercayaan, kesalingbergantungan, dan afiliasi. Jika demikian, maka antara majikan dan pembantu akan tercipta hubungan yang kuat (akrab) serta terhindar dari mis-komunikasi dan mis-persepsi. Disamping itu, hal ini dapat kita kaitkan dengan teori Johari Window, maksudnya antara majikan dengan pembantu dapat lebih membuka jendela No.1 (sel terbuka) sesuai dengan perannya masing-masing, yakni kondisi “tahu sama tahu”  majikan tahu apa saja yang dikerjakan oleh pembantunya.